Beranda | Artikel
Tahnik dan Manfaat Kesehatan, Mitos atau Fakta? (01)
Sabtu, 4 November 2017

Tahnik adalah salah satu ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menyambut bayi yang baru lahir. Tahnik dilakukan dengan mengunyah kurma sampai halus, kemudian kita ambil kunyahan kurma tersebut sebanyak kira-kira seujung jari saja, lalu kita tempelkan dan gosokkan sedikit (kunyahan) kurma tersebut ke langit-langit mulut bayi.

Dewasa ini, sebagian orang mengaitkan tahnik dengan manfaat kesehatan tertentu. Ada yang mengklaim bahwa tahnik adalah vaksinasi alami atau media transfer sel punca (stem cell) atau klaim-klaim lainnya. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini kami ingin membahas, apakah klaim manfaat kesehatan dari tahnik itu sekedar mitos atau fakta?

Syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, antara Ibadah dan Manfaat Kesehatan

Ibadah dan mentauhidkan Allah Ta’ala merupakan tujuan penciptaan manusia. Allah Ta’ala berfirman,

وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).

Di atas pondasi inilah, seluruh ajaran dan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpangkal, yaitu untuk mentauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan umatnya dari kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul untuk tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ’Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut’” (QS. An-Nahl [16]: 36).

Sehingga tujuan utama dari amal yang kita lakukan adalah beribadah dan mengharap pahala dari-Nya, bukan tujuan-tujuan rendah yang sifatnya duniawi semata, termasuk tujuan kesehatan. Inilah hukum asal syariat yang dicontohkan atau diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam rangka murni ibadah kepada Allah Ta’ala, bukan dalam rangka meraih manfaat kesehatan tertentu.

Jika ada klaim manfaat kesehatan tertentu, maka hal ini harus berdasarkan dalil (bukti) yang valid, baik dalil dari penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau dari bukti penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Sungguh bagus penjelasan yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala. Beliau rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Cara untuk mengetahui bahwa sesuatu adalah sebab yaitu dari keterangan dalil agama, misalnya keterangan dari Al-Qur’an bahwa madu mengandung obat bagi manusia, sebagaimana hal yang sama juga terdapat dalam aktivitas membaca Al-Qur’an.

Selain itu, sesuatu dapat dinyatakan sebagai sebab melalui bukti empirik, seperti ketika kita melakukan uji coba suatu obat dan kita menemukan bahwa obat tersebut bermanfaat mengobati luka dan penyakit tertentu. Akan tetapi, pengaruh dari obat tersebut harus terbukti langsung dan nyata seperti seorang yang berobat dengan besi panas (kay), kemudian dirinya sembuh. Maka kay adalah sebab yang jelas dan nyata untuk menyembuhkan penyakit.

Kami memberikan catatan seperti di atas agar setiap orang tidak beralasan dengan berkata, “Saya telah mencoba hal ini dan ternyata bermanfaat”. Padahal pengaruhnya tidak langsung dirasakan, seperti kalung jimat yang digunakan seseorang dan dia meyakini kalung tersebut bermanfaat. Orang itu pun merasakan manfaatnya karena keyakinan terhadap sesuatu itu mempunyai pengaruh yang nyata (baca: telah tersugesti).

(Hal serupa dapat ditemui dalam contoh lain). Terkadang, seseorang meruqyah orang yang sakit dengan bacaan Al-Qur’an, namun pasien tidak merasakan pengaruh apa-apa. Kemudian datang orang lain, yang meyakini bahwa bacaan Al-Qur’annya lebih bermanfaat. Kemudian orang itu pun meruqyahnya dengan bacaan Al-Qur’an yang sama dan ternyata si pasien merasakan adanya manfaat, sakitnya berkurang. Demikian pula dengan orang yang memakai kalung atau gelang (baca: semacam “kalung atau gelang kesehatan”), yang terkadang merasakan sakitnya berkurang karena tersugesti bahwa hal itu mampu memberikan manfaat.

Berkurangnya rasa sakit bagi seorang yang meyakini manfaat gelang/kalung tersebut semata-mata sugesti dari dalam diri. Dan sugesti yang muncul dari dalam diri bukanlah cara yang dibenarkan agama dalam menetapkan sebab” (Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitaabit Tauhiid, 1/163).

Adapun jika klaim kesehatan itu terbukti, tetap tidak boleh digunakan sebagai tujuan pokok beribadah. Misalnya, jika benar ada manfaat kesehatan dari ibadah puasa, maka tujuan pokok kita berpuasa adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala. Kita berpuasa bukan karena motivasi ingin sehat, menurunkan berat badan atau tujuan-tujuan kesehatan lainnya. Meskipun bisa jadi kita memang lebih sehat setelah berpuasa, maka ini adalah karunia dari Allah Ta’ala.

Demikian pula tahnik. Hukum tahnik kepada bayi yang baru lahir adalah sunnah (mustahab atau dianjurkan). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjelaskan adanya manfaat kesehatan tertentu yang diterima oleh sang bayi. Oleh karena itu, kita pun melakukan tahnik dalam rangka beribadah kepada Allah Ta’ala, bukan karena sebab-sebab lainnya, termasuk dalam rangka mencari berkah dari air liur pentahnik atau dalam rangka mencari manfaat kesehatan tertentu. [Bersambung]

***

Selesai disempurnakan di pagi hari, Rotterdam NL 1 Muharram 1438/21 September 2017

Yang senantiasa membutuhkan ampunan Rabb-nya,

Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id

🔍 Fiqih Sholat, Hadits Tentang Prasangka, Ayat Dalam Alquran Tentang Memelihara Anak Yatim, Roh Manusia Yang Sudah Meninggal, Hak Dan Kewajiban Manusia Menurut Islam


Artikel asli: https://muslim.or.id/33999-tahnik-dan-manfaat-kesehatan-mitos-atau-fakta-01.html